MALAM LAILATUL QADAR DALAM ALQURAN
Berbicara
tentang Lailatul Al-Qadar mengharuskan kita
berbicara tentang surat Al-Qadar. Dimana surat Al-Qadar
adalah surat ke-97
menurut urutannya dalam Mushaf. Dan
ditempatkan sesudah surat
Iqra'. Jumhur ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah
turunnya surat Iqra'. Dan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar
turun setelah Nabi Saw berhijrah ke Madinah.
Penempatan
urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah
Swt. Dilihat dari perurutannya
ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Begitu
juga dalam surat Iqra' Nabi Saw. demikian pula kaum Muslim diperintahkan untuk
membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah
Al-Quran, wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini
berbicara tentang turunnya Al-Quran, kemuliaan malam yang
terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Di
bulan Ramadhan memiliki
sekian banyak keistimewaan, dan salah satunya adalah Lailat
Al-Qadar, dimana suatu malam yang didalam Al-Quran dinyatakan "lebih baik dari
seribu bulan."
Tetapi apa
dan bagaimana malam itu, Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam
ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu atau terjadi
setiap bulan Ramadhan
sepanjang masa dan Bagaimana kedatangannya apakah setiap orang yang
menantinya pasti akan
mendapatkannya, benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai
kehadirannya (seperti heningnya malam, membekunya air
dan menunduknya pepohonan dan
sebagainya) Bahkan masih banyak lagi
pertanyaan yang dapat
dan sering muncul berkaitan
dengan malam Al-Qadar itu.
Yang pasti
dan harus diimani oleh setiap
Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran
bahwa, Ada suatu
malam yang bernama Lailat Al-Qadar bahwa malam itu adalah malam yang
penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan
penuh kebijaksanaan.
Sesungguhnya
Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi
Kami (QS Al-Dukhan [44]: 3-5).
Malam
tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan
Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar
(QS Al-Qadr [97]: l).
Malam tersebut
adalah malam mulia.
Tidak mudah diketahui betapa
besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan
oleh adanya
"pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:
Tahukah
kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)
Tiga
belas kali kalimat ma adraka terulang
dalam Al-Quran, sepuluh di
antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan
hari kemudian, seperti:
Ma adraka ma
yaum al-fashl, dan sebagainya.
Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah
dijangkau oleh akal
pikiran manusia, kalau
enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari
angka tiga belas itu adalah:
Tahukah
kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq [86]: 2)
Tahukah
kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad [90]: 12)
Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian
kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan
dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit dijangkau hakikatnya
secara sempurna oleh
akal pikiran manusia.
Walaupun demikian,
sementara ulama membedakan
antara pertanyaan ma adraka dan
ma yudrika yang
juga digunakan Al-Quran dalam
tiga ayat.
Dan
tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS
Al-Ahzab [33]: 63)
Dan
tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura [42]: 17
Tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).
Dua
ayat pertama di atas mempertanyakan dengan
ma yudrika menyangkut waktu
kedatangan kiamat, sedang
ayat ketiga berkaitan dengan
kesucian jiwa manusia. Ketiga hal
tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
Secara gamblang
Al-Quran --demikian pula
As-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya
hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib.
Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak
mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa ma
adraka, walau berupa
pertanyaan namun pada akhirnya
Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. Sehingga informasi lanjutan
dapat diperoleh dari
beliau. Demikian perhedaan kedua
kalimat tersebut.
Ini berarti
bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di
sanalah kita dapat memperoleh informasinya.
Kembali
kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan
mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata
qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
- Penetapan dan pengaturan sehingga
Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi
perjalanan hidup manusia. Pendapat ini
dikuatkan oleh penganutnya
dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas.
(Ada ulama yang memahami
penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang
turun pada malam Lailat Al-Qadar,
diartikan bahwa pada malam itu
Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan
strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw.,
guna mengajak manusia kepada agama
yang benar, yang pada
akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu
maupun kelompok.
- Kemuliaan. Malam
tersebut adalah malam
mulia tiada bandingnya. Ia
mulia karena terpilih sebagai malam
turunnya Al-Quran, serta karena
ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang
dapat diraih. Kata qadar yang
berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An'am (6): 91 yang
berbicara tentang kaum musyrik:
Mereka itu tidak
memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa
Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
- Sempit. Malam tersebut
adalah malam yang
sempit, karena banyakuya
malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:
Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan.
Kata
qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain dalam surat A1-Ra'd (13): 26:
Allah
melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga
arti tersebut pada hakikatnya
dapat menjadi benar, karena
bukankah malam tersebut adalah
malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa
pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.
Namun demikian, sebelum
kita melanjutkan bahasan tentang
Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan
tentang kehadirannya adakah setiap
tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima
belas abad yang lalu?
Dari
Al-Quran kita menemukan
penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan
tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa
Al-Quran telah sempurna
dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas
dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi.
Kemuliaan yang diperoleh oleh malam
tersebut adalah karena
ia terpilih menjadi
waktu turunnya Al-Quran.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat
dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan
datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena
mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis
yang menunjukkan bahwa
Lailat Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan
Rasululllah Saw. Menganjurkan umatnya untuk
mempersiapkan jiwa menyambut
malam mulia itu, secara khusus pada
malam-malam ganjil setelah
berlalu dua puluh Ramadhan.
.......................
Demikian
sabda Nabi Saw.
Memang turunnya
Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam
Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan
berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga
berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun, tetapi karena
adanya faktor intern
pada malam itu sendiri.
Pendapat
di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk
kata kerja mudhari' (present
tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya
sesuatu pada masa kini dan masa
datang.
Nah,
apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga
(tidak tidur) pada malam kehadirannya
itu?
Tidak sedikit
umat Islam yang
menduganya demikian. Namun dugaan
itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh
keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di
sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai
oleh hal-hal yang
bersifat fisik-material,
sedangkan riwayat-riwayat demikian,
tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali
lagi seandainya, ada
tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh
orang-orang yang tidak mempersiapkan diri
dan menyucikan jiwa
guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan
menyatu dan bertemu. Kebaikan
dan kemuliaan yang dihadirkan
oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih
kecuali oleh orang-orang tertentu saja.
Tamu agung yang
berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di
lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang
yang sangat rindu atas kedatangan kekasih,
namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga
dengan Lailat Al-Qadar.
Itu sebabnya bulan Ramadhan
menjadi bulan kehadirannya, karena bulan
ini adalah bulan penyucian jiwa,
dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika
itu, diharapkan jiwa manusia
yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu
tingkat kesadaran dan kesucian
yang memungkinkan malam
mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul
Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan
merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila
jiwa telah siap, kesadaran telah
mulai bersemi, dan Lailat
Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam
arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa
mendatang. Saat itu, bagi yang
bersangkutan adalah saat
titik tolak guna meraih
kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna
menyertai dan membimbingnya menuju
kebaikan sampai terbitnya
fajar kehidupannya yang baru kelak
di hari kemudian.
(Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam
Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi berikut:
Setiap
orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan
buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima
dan yang itu menolak, atau yang ini
berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan
sesuatu.
Yang membisikkan
kebaikan adalah malaikat,
sedang yang membisikkan keburukan
adalah setan atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab
adanya bisikan tersebut adalah malaikat
atau setan. Turunnya malaikat
pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya,
menjadikan yang bersangkutan akan
selalu disertai oleh
malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk
melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia
sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai)
yang tak terbatas sampai fajar malam
Lailat Al-Qadar, tapi sampai
akhir hayat menuju fajar
kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Di
atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil mengamalkan i'tikaf
di masjid dalam
rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci.
Segala aktivitas kebajikan bermula
di masjid. Di
masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang
diri dan masyarakatnya, serta dapat
menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran
guna memperoleh tambahan
pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu
sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak
doa dan bacaan
Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat
memperkaya iman dan takwa.
Malam Qadar
yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau
menyendiri di Gua Hira, merenung tentang
diri beliau dan
masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah
Ar-Ruh (Jibril) membawa
ajaran dan membimbing beliau
sehingga terjadilah perubahan
total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu
pula beliau mengajarkan
kepada umatnya, dalam rangka
menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara
1ain adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun i'tikaf
dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan
dalam pandangan Imam Syafi'i, walau
sesaat selama dibarengi oleh niat yang
suci-- namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir
bulan puasa. Di sanalah
beliau bertadarus dan
merenung sambil berdoa.
Salah
satu doa yang paling sering
beliau baca dan
hayati maknanya adalah:
Wahai
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di
akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa
ini bukan sekadar berarti
permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia
dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk
memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa
mengandung arti permohonan yang disertai
usaha. Permohonan itu
juga berarti upaya
untuk menjadikan kebajikan dan
kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak
hanya terbatas dampaknya di dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun menyangkut
tanda alamiah, maka
Al-Quran tidak menyinggungnya.
Ada beberapa hadis mengingatkan hal
tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari,
pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan
yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu
Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui
sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
Tanda
kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih
tanpa sinar.
Imam
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya
adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak
dingin dan tidak pula panas ...
Hadis
ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan
karena itu kita dapat
berkata bahwa tanda
yang paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga
malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat
dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan
datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena
mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis
yang menunjukkan bahwa
Lailat Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan
Rasululllah Saw. Menganjurkan umatnya untuk
mempersiapkan jiwa menyambut
malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil
setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
.......................
Demikian
sabda Nabi Saw.
Memang turunnya
Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam
Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan
berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga
berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun, tetapi karena
adanya faktor intern
pada malam itu sendiri.
Pendapat
di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk
kata kerja mudhari' (present
tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya
sesuatu pada masa kini dan masa
datang.
Nah,
apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga
(tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit
umat Islam yang
menduganya demikian. Namun dugaan
itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh
keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di
sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai
oleh hal-hal yang
bersifat fisik-material,
sedangkan riwayat-riwayat demikian,
tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali
lagi seandainya, ada
tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh
orang-orang yang tidak mempersiapkan diri
dan menyucikan jiwa
guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan
menyatu dan bertemu. Kebaikan
dan kemuliaan yang dihadirkan
oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih
kecuali oleh orang-orang tertentu saja.
Tamu agung yang
berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di
lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang
yang sangat rindu atas kedatangan kekasih,
namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga
dengan Lailat Al-Qadar.
Itu sebabnya bulan Ramadhan
menjadi bulan kehadirannya, karena bulan
ini adalah bulan penyucian jiwa,
dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika
itu, diharapkan jiwa
manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah
mencapai satu tingkat kesadaran dan
kesucian yang memungkinkan
malam mulia itu berkenan mampir
menemuinya, dan itu pula sebabnya
Rasul Saw. menganjurkan sekaligus
mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan.
Apabila
jiwa telah siap, kesadaran telah
mulai bersemi, dan Lailat
Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam
arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa
mendatang. Saat itu, bagi yang
bersangkutan adalah saat
titik tolak guna meraih
kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna
menyertai dan membimbingnya menuju
kebaikan sampai terbitnya
fajar kehidupannya yang baru kelak
di hari kemudian.
(Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam
Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi berikut:
Setiap
orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan
buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima
dan yang itu menolak, atau yang ini
berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan
sesuatu.
Yang membisikkan
kebaikan adalah malaikat,
sedang yang membisikkan keburukan
adalah setan atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab
adanya bisikan tersebut adalah malaikat
atau setan. Turunnya malaikat
pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya,
menjadikan yang bersangkutan akan
selalu disertai oleh
malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk
melakukan kebaikan-kebaikan,
dan dia
sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai)
yang tak terbatas sampai fajar malam
Lailat Al-Qadar, tapi sampai
akhir hayat menuju fajar
kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Di
atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil mengamalkan i'tikaf
di masjid dalam
rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci.
Segala aktivitas kebajikan bermula
di masjid. Di
masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang
diri dan masyarakatnya, serta dapat
menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran
guna memperoleh tambahan
pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu
sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak
doa dan bacaan
Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat
memperkaya iman dan takwa.
Malam Qadar
yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau
menyendiri di Gua Hira, merenung tentang
diri beliau dan
masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah
Ar-Ruh (Jibril) membawa
ajaran dan membimbing beliau
sehingga terjadilah perubahan
total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu
pula beliau mengajarkan
kepada umatnya, dalam rangka
menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar
itu, antara 1ain adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun i'tikaf
dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan
dalam pandangan Imam Syafi'i, walau
sesaat selama dibarengi oleh niat yang
suci-- namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir
bulan puasa. Di sanalah
beliau bertadarus dan
merenung sambil berdoa.
Salah
satu doa yang paling sering
beliau baca dan
hayati maknanya adalah:
Wahai
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di
akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa
ini bukan sekadar berarti
permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia
dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan
langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti
permohonan yang disertai usaha. Permohonan
itu juga berarti
upaya untuk menjadikan kebajikan
dan kebahagiaan yang
diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya
di dunia, tetapi berlanjut hingga hari
kemudian kelak.
Adapun menyangkut
tanda alamiah, maka
Al-Quran tidak menyinggungnya.
Ada beberapa hadis mengingatkan hal
tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari,
pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan
yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu
Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui
sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
Tanda
kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih
tanpa sinar.
Imam
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya
adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak
dingin dan tidak pula panas ...
Hadis
ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan
karena itu kita dapat
berkata bahwa tanda
yang paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga
malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.
Posting Komentar