KH ABDUL
KHOLIQ HASYIM
Berbekal Ilmu Kanuragan, Terapkan Kedisiplinan di
Tebuireng
KH Abdul Kholik
Hasyim adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang cukup disegani
oleh masyarakat. Ia memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Di bawah
kepemimpinannya, intensitas pengajian kitab kuning di Tebuireng ditingkatkan.
Kelahiran dan
Pendidikan
Abdul Kholik
Hasyim dilahirkan pada tahun 1916 dengan nama kecil Abdul Hafidz. Beliau adalah
putra keenam dari pasangan Kiai Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah.
Sejak kecil
Abdul Kholik dididik langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah dianggap mampu,
Abdul Kholik melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren Sekar Putih,
Nganjuk. Selepas dari sana, dia meneruskan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa
Tengah, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Harun yang terkenal sebagai pakar
nahwu. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Abdul Kholik melanjutkan
studinya ke Pesantren Kajen, Juwono, Pati, Jawa Tengah.
Pada tahun
1936, dalam usia 20 tahun, Abdul Kholik pergi ke tanah suci untuk menunaikan
ibadah haji. Di sana ia bermukim selama empat tahun sambil memperdalam ilmu
pengetahuan. Salah seorang gurunya bernama Syekh Ali al-Maliki al-Murtadha.
Berkeluarga dan
Berjuang
Pada tahun
1939, Abdul Kholik pulang ke tanah air. Setahun kemudian, ia menikah dengan
salah seorang keponakan Kiai Baidhawi yang bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942,
Kiai Kholik dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hakam. Inilah
satu-satunya keturunan Kiai Kholik.
Selama masa
revolusi fisik, Kiai Kholik aktif berjuang merebut dan mempertahankan
kemerdekaan RI. Sejak tahun 1944, atau satu tahun sebelum Proklamasi
Kemerdekaan RI, Kiai Kholik masuk dalam dinas ketentaraan nasional. Dia menjadi
anggota PETA.
Kiai Kholik
merupakan orang dekat Jenderal Sudirman bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Kholik mengundurkan diri dari militer pada tahun 1952 dengan pangkat
terakhir Letnan Kolonel (Letkol), kemudian pergi ke Makkah guna menunaikan
ibadah haji untuk kedua kalinya.
Memimpin
Tebuireng
Sepulang dari
Makkah, Kiai Kholik mampir dulu ke Jakarta menemui Kiai Wahid Hasyim yang saat
itu menjadi Menteri Agama. Di sana beliau membicarakan masalah kepemimpinan
Tebuireng yang waktu itu dipegang oleh Kiai Baidlawi. Dalam pandangan Kiai
Kholik, naiknya Kiai Baidlawi sebagai pimpinan Tebuireng telah merubah tradisi
kepemimpinan pesantren yang biasanya diteruskan oleh putra pengasuhnya, bukan
oleh menantunya.
Setelah dari
Jakarta, Kiai Kholik mampir ke Desa Kwaron, Jombang. Di sana ia tinggal di
rumah adiknya yang paling bungsu, Muhammad Yusuf Hasyim. Dari Desa Kwaron Kiai
Kholik mengirim utusan ke Tebuireng untuk membicarakan masalah suksesi
kepemimpinan Tebuireng dengan Kiai Baidhawi. Mendengar rencana tersebut, Kiai
Baidhawi lalu menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada Kiai Kholik.
Sejak awal
kepemimpinannya, Kiai Kholik banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan
dan pengajaran kitab kuning, yang pada tahun-tahun sebelumnya digantikan dengan
sistem klasikal. Sebagai pendekar sekaligus bekas tentara, Kiai Kholik
menerapkan kedisiplinan yang cukup tinggi di Tebuireng.
Langkah pertama
yang diambilnya ialah meminta bantuan kakak iparnya, Kiai Idris Kamali (tahun
1953), untuk mengajar di Tebuireng. Kiai Idris diminta untuk mengajarkan
kembali kitab-kitab kuning guna mempertahankan sistem salaf, serta melakukan
revitalisasi sistem pengajaran.
Dalam memimpin
Tebuireng, Kiai Kholik terkenal sangat disiplin. Ini mungkin merupakan pengaruh
tidak langsung dari jiwa militernya. Meskipun demikian, Kiai Kholik sangat
hormat kepada Kiai Idris, karena dianggap lebih tinggi ilmu spiritualnya. Kiai
Idris juga sangat dihormati oleh santri dan masyarakat. Sedangkan Kiai Kholik
sebagai pemimpin formal Tebuireng, mengajar kitab-kitab tasawwuf.
Sedangkan Kiai
Kholik sangat disegani masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup
tinggi. Hampir setiap hari tamu-tamu berdatangan ke rumahnya, baik meminta
doa-doa atau meminta syarat kesembuhan. Masyarakat percaya bahwa Kiai Kholik
mewarisi kesufian dan kekaromahan Kiai Hasyim, sehingga beliau sering melakukan
keajaiban-keajaiban tertentu. Konon, Kiai Kholik pernah menurunkan buah kelapa
tanpa memanjatnya. Beliau cukup menggerakkan tenaga dari bawah, buah kelapa
sudah berjatuhan. Kiai Kholik juga terkenal kebal senjata tajam. Saat terjadi
peristiwa G30S PKI, Kiai Kholik memberikan amalan untuk kekebalan dan kesaktian
kepada para santri dan masyarakat.
Pada masa
penjajahan, Kiai Kholik pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan yang
jelas. Beliau dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng cemas
dibuatnya. Pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi, Kiai Kholik meminta
waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, Kiai Kholik
mengangkat tangan berdoa kepada Allah. Anehnya, setelah itu pihak Belanda
menyatakan bahwa Kiai Kholik tidak jadi dihukum mati.
Selain terkenal
memiliki karomah tinggi, Kiai Kholik juga memiliki kebiasaan mengoleksi
kitab-kitab syair berbahasa Arab (semacam ontologi). Hal ini dapat dilihat dari
kitab-kitab peninggalannya yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Tebuireng.
Pada masa Kiai
Kholik, madrasah yang telah dirintis oleh para pendahulunya tetap
dipertahankan. Saat itu Madrasah Tebuireng terdiri dari tiga jenjang, yakni
Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SLTP), dan Mu’allimin. Kurikulumnya 70% ilmu agama
dan 30% ilmu umum. Pada masa ini pula, Madrasah Nidzamiyah yang dulunya
didirikan oleh Kiai Wahid, berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.
Polaritas
Politik
Di bidang
politik, pada masa kepemimpinan Kiai Kholik terdapat polaritas internal di
kalangan pemimpin Tebuireng. Pertama, Kiai Kholik mendirikan partai Aksi
Kemenangan Umat Islam (AKUI) tahun 1955 dan melarang segala aktivitas politik
dan organisasi apapun di Tebuireng. Kedua, Kiai Karim (kakak Kiai Kholik) tetap
konsisten menjadi anggota Masyumi. Ketiga, sebagian warga pesantren dan
masyarakat Tebuireng mengikuti Partai NU. Padahal Kiai Kholik saat itu melarang
segala kegiatan yang berbau NU. Segala aktifitas harus dilakukan di luar
pondok. Di pondok hanya untuk ibadah dan mengaji.
Ketika Presiden
Soekarno menjatuhkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kiai Kholik sebagai anggota
Konstituante, menentang dengan keras. Dalam pandangannya, jalan musyawarah dan
diplomasi masih bisa dilanjutkan. Kiai Kholik mendapat teguran keras atas
penentangannya itu, sehingga partai AKUI yang didirikannya dibubarkan. Kiai
Kholik kemudian keluar dari politik.
Berpulang ke
Haribaan-Nya
Bulan Juni
1965, atau tiga bulan sebelum meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI, Kiai Kholik
menderita sakit selama beberapa hari. Semua keluarga dan santri Tebuireng cemas
dibuatnya. Mereka semua mengharap kesembuhan sang pengasuh. Namun untung tak
dapat diraih, malang tak dapat dihadang. Beberapa hari setelah itu, Kiai Kholik
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Inna liLlahi wa inna ilayhi raji’un.
Tebuireng pun berduka.
Sebagaimana
keluarga lainnya, jenazah Kiai Kholik dimakamkan di komplek pemakaman keluarga
Pesantren Tebuireng, diiringi ribuan peta’ziyah yang mengantarkannya hingga ke
liang lahat.
Posting Komentar