Hukum Jimat dalam Islam
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Beberapa Macam Bentuk Jimat di Masyarakat
1. Batu Akik, Keris, Rajah, rantai
babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
2. Jimat keberuntungan
3. Jimat penghasilan
4. Jimat penglaris dagangan
5. Jimat kekuatan dan keberanian
6. Jimat kebal senjata tajam
7. Jimat perlindungan diri
8. Jimat perlindungan kendaraan dan
rumah
9. Jimat kecintaan
10. Jimat keselamatan, dll
Bagaimana Hukum Jimat dalam Islam?
Ketahuilah, bahwa memakai jimat dan mempercayainya dapat memberikan
manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik
besar yang menyebabkan pelakunya murtad, dan keluar dari syariat Islam.
Dalam mengenakan jimat dan meyakini Allah ta’ala yang memberikan manfaat atau
melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedangkan jimat tersebut hanya
sebagai sebab dari syirik kecil, termasuk dosa besar yang
membinasakan.
Mempercayai jimat termasuk syirik besar karena dalam keyakinan
tersebut terkandung makna syirik, karena sebab penyamaan antara Allah ta’ala dengan makhluk dalam
perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah ta’ala, dalam hal ini
adalah memberikan manfaat, dapat melindungi dari bahaya dan menolak bala’.
Dalil-dalil Umum Pengharaman Jimat
Allah
ta’ala menegaskan,
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ
مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ
“Ibrahim berkata: “Maka kenapa kamu menyembah selain Allah
sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak
(pula) memberi mudarat kepada kamu?” [Al-Anbiya’: 66]
Juga
firman-Nya,
قُلِ ادْعُواْ
الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ
وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan
selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk
menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’:
56]
Juga
firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمْ مَا
تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ
كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ
قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu
seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?.
Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang
berserah diri.” [Az-Zumar: 38]
Ayat-ayat di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang
mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan
sifat rububiyah Allah ta’ala yang harus diyakini oleh setiap
hamba, sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti
pada malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah
menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.
Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لا تستطيع شيئا من
الأمر وذكر ابن أبي حاتم هاهنا حديث قيس بن الحجاج عن حنش الصنعاني عن ابن عباس
مرفوعا احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك تعرف إلى الله في الرخاء يعرفك في
الشدة إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعوا
على أن يضروك بشيء لم يكتبه الله عليك لم يضروك ولو اجتمعوا على أن ينفعوك بشيء لم
يكتبه الله لك لم ينفعوك جفت الصحف ورفعت الأقلام واعمل لله بالشكر في اليقين
واعلم أن الصبر على ما تكره خير كثير، وأن النصر مع الصبر، وأن الفرج مع الكرب وأن
مع العسر يسرا
“Semua makhluk yang disembah tersebut tidak sedikitpun
memiliki kemampuan dalam menentukan perkara (manfaat maupun mudarat). Dan di
sini, Ibnu Abi Hatim menyebutkan hadits Qois bin Al-Hajjaj,
dari Hanasy As-Shon’ani, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu,
jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada
di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya Dia akan
mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka mintalah kepada
Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.
Dan ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan
suatu bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak
akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan suatu
manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka mereka tidak
akan mampu melakukannya. Telah kering catatan-catatan (takdir) dan pena-pena
telah diangkat.
Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam
keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci adalah
kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran, kelapangan
bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.” [Tafsir Ibnu Katsir,
7/100]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
فهذه الآية وأمثالها
تبطل تعلق القلب بغير الله فى جلب أو دفع ضر وأن ذلك شرك بالله
“Ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya membatilkan
ketergantungan hati kepada selain Allah ta’ala dalam meraih kemanfaatan atau
menolak kemudaratan, dan bahwasannya hal itu termasuk syirik kepada Allah
ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والشاهد من هذه الآية
أن هذه الأصنام لا تنفع أصحابها لا بجلب نفع ولا بدفع ضر فليست أسبابا لذلك فيقاس
عليها كل ما ليس بسبب شرعي أو قدري فيعتبر اتخاذه سببا إشراكا بالله
“Dan syahid dari ayat ini adalah bahwa
patung-patung yang mereka sembah itu tidak sedikitpun bisa memberi manfaat
kepada para penyembahnya; tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa
menolak mudarat. Jadi, patung-patung itu bukanlah sebab-sebab untuk
mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, maka dikiaskan di atasnya semua yang
bukan sebab syar’i dan qodari,
menjadikannya sebagai sebab adalah perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul
Mufid, 1/168]
[ FAIDAH PENTING DALAM MASALAH
“SEBAB” ]
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di
atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa tauhid
adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab
untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan tidak dilarang dalam
Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat, sebab tersebut adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang
dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah untuk orang
sakit adalah sebab kesembuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah
sebab yang Allah ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui
dengan dua cara: Pertama, dengan dalil syar’i dan Kedua, dengan
penelitian ilmiah dan percobaan.
Contoh yang dapat diketahui dengan dalil syar’i, seperti
madu, habbatus sauda’, kencing unta untuk obat sakit perut, bekam
dan lain-lain adalah sebab-sebab kesembuhan.
Contoh
yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan, seperti umumnya
obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan sebab untuk
menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikroorganisme berbahaya
yang berada di dalam tubuh.
Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia
bukanlah sebab syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah
perbuatan syirik. Contohnya sangat banyak sekali, seperti
perbuatan sebagian orang yang mengambil batu-batuan di kuburan orang shalih,
potongan kiswah penutup ka’bah dan benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat
adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda
tersebut bukanlah sebab syari’i maupun qodari.
Kesyirikan di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan
bisa jadi syirik kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat dapat
melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan syirik kecil
jika dia meyakini jimat itu hanyalah sebab, sedang Allah ta’ala Dialah yang
melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut, karena apabila
seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab padahal Allah ta’ala tidak
menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, maka
seakan-akan dia telah menyamakan dirinya dengan Allah ta’ala dalam menentukan
sesuatu sebagai sebab.
Dan
manusia dalam masalah sebab terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama:
Mereka yang menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yang
menafikan sifat hikmah Allah ta’ala, seperti kelompok Al-Jabriyah dan Al-Asy’ariyah.
Kedua:
Mereka yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab sampai
mereka jadikan yang bukan sebab sebagai sebab, mereka adalah kebanyakan penganut khurafat dari
kalangan Shufiyah dan yang semisalnya.
Ketiga: Mereka yang mempercayai
adanya sebab-sebab yang memiliki pengaruh dengan izin Allah ta’ala, akan tetapi
mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali ditetapkan oleh Allah
ta’ala, apakah sebab syar’i atau qodari.
Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165]
Dalil-dalil Khusus Pengharaman Jimat
Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً
وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً
وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ
فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Bahwasannya telah datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam sepuluh orang (untuk melakukan bai’at), maka Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Maka mereka
berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membai’at sembilan dan meninggalkan
satu orang ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka
orang itu memasukkan tangannya dan memotong jimat tersebut, barulah Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam membai’atnya dan beliau bersabda, “Barangsiapa
yang mengenakan jimat maka dia telah menyekutukan Allah”.” [HR. Ahmad,
no. 17422. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya
kuat,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah,
no. 492]
Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin
‘Amir radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ
تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ
اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan
menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat
batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan
kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
berkata, “Hadits hasan.”]
Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ
قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ
أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ
مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat di tangan
seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga, maka beliau berkata, “Celaka
engkau, apa ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit yang dapat
menimpa tangan.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun
kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya
jika engkau mati dan benda itu masih bersamamu maka kamu tidak akan beruntung
selama-lamanya [HR. Ahmad, no. 20000]
Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,
أَنَّهُ كَانَ مَعَ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ قَالَ عَبْدُ اللهِ
حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ
مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
“Bahwasannya beliau pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam pada salah satu perjalanan beliau –berkata Abdullah (rawi): Aku
mengira beliau mengatakan-, ketika itu manusia berada pada tempat bermalam
mereka, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk
menyampaikan, “Janganlah tertinggal di leher hewan tunggangan sebuah kalung
dari busur panah atau kalung apa saja kecuali diputuskan”.” [HR.
Al-Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 5671]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan diantara
penjelasan ulama terhadap hadits di atas,
أنهم كانوا يقلدون
الإبل أوتار القسي لئلا تصيبها العين بزعمهم فأمروا بقطعها اعلاما بأن الأوتار لا
ترد من أمر الله شيئا وهذا قول مالك قلت وقع ذلك متصلا بالحديث من كلامه في الموطأ
وعند مسلم وأبي داود وغيرهما قال مالك أرى أن ذلك من أجل العين ويؤيده حديث عقبة
بن عامر رفعه من علق تميمة فلا أتم الله له أخرجه أبو داود أيضا
“Bahwasannya
di zaman Jahiliyah dahulu mereka memakaikan kalung-kalung bususr panah keras
terhadap onta mereka agar tidak terkena penyakit ‘ain menurut sangkaan mereka.
Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk memutuskan
kalung-kalung tersebut sebagai pengajaran kepada mereka bahwa jimat-jimat itu
tidak sedikitpun dapat menolak ketentuan Allah ta’ala. Ini adalah
pendapat Al-Imam Malik rahimahullah tentang makna
hadits ini.
Aku
(Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tersebut beliau sebutkan
setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’,
juga disebutkan oleh Muslim, Abu Daud dan
selainnya. Malik berkata, “Menurutku mereka
menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.” Dan yang
mendukung makna tersebut adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu secara marfu’, “Barangsiapa
yang bergantung kepada jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan
urusannya.”Juga diriwayatkan oleh Abu Daud.” [Fathul
Bari, 6/142]
Sahabat
yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ
الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ
لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ
عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
“Wahai Ruwaifi’, bisa jadi engkau akan hidup lama
sepeninggalku, maka kabarkanlah kepada manusia, bahwasannya siapa yang mengikat
jenggotnya, atau menggunakan kalung (jimat) dari busur panah, atau beristinja
dengan kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-
berlepas diri darinya.” [HR. Abu Daud, no. 36, Shahih Abi Daud,
no. 27]
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku mendengar
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ
وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet itu
syirik.” [HR. Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah,
no. 3530. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]
Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim
Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا
وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang bergantung kepada sesuatu (makhluk seperti
jimat dan yang lainnya) maka dia akan dibiarkan bersandar kepada makhluk
tersebut (tidak ditolong oleh Allah ta’ala).” [HR. Ahmad, no. 18781,
18786 dan At-Tirmidzi, no. 2072. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hasan
ligairihi,” dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul Marom,
no. 297]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
التعلق يكون بالقلب
ويكون بالفعل ويكون بهما وكل إليه أي وكله الله إلى ذلك الشئ الذي تعلقه فمن تعلق
بالله وأنزل حوائجه إليه والتجأ إليه وفوض أمره إليه وكفاه وقرب إليه كل بعيد ويسر
له كل عسير ومن تعلق بغيره أو سكن إلى رأيه وعقله ودوائه وتمائمه ونحو ذلك وكله
الله إلى ذلك وخذله وهذا معروف بالنصوص والتجارب قال تعالى ومن يتوكل على الله فهو
حسبه
“Bergantung
kepada sesuatu itu bisa jadi dengan hati, bisa pula dengan perbuatan dan bisa
pula dengan hati dan perbuatan sekaligus. Allah ta’ala menjadikan pelakunya
bergantung kepada sesuatu tersebut, maksudnya adalah Allah ta’ala jadikan dia
bergantung kepada sesuatu yang dia jadikan sebagai tempat bergantung.
Maka
barangsiapa yang bergantung kepada Allah ta’ala, memohon hajat-hajatnya
kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, memasrahkan urusannya kepada-Nya niscaya
Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya setiap yang jauh,
memudahkan baginya semua yang sulit.
Dan
barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih tenang (ketika
bersandar) kepada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya dan yang
semisalnya maka Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada makhluk-makhluk
tersebut dan Allah ta’ala menghinakannya. Dan ini sudah dimaklumi berdasarkan
dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah
sebagai penolongnya.” [Ath-Tholaq: 3].” [Fathul Majid,
hal. 124]
Wallahu A’lam.
Posting Komentar