SEMUT DAN CAPUNG
Seekor
semut yang pikirannya tersusu dalam rencana teratur, sedang mencari-cari madu
ketika seekor capung hinggap menhisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat
pergi kemudian datang kembali.
Kali
ini semut bekata,
“kau
ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana. Karena kau tak punya tujuan
yang nyata atau pun yang lain, apa pula ciri utama hidupmu, dan kapan pula kau
berakhir”?.
Kata
si capung,
“
aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan nyata. Tujuanku
adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan se kehendakmu, kau bisa meyakinkan ku
bahwa ada yang lebih berharga daripada yang kulakukan ini, kau laksanakan saja
rencanamu, dan aku melaksanakan rencanaku”.
Semut
berpikir,
“yang
tampak padaku ternyata tak tampak olehnya, ia tahu apa yang terjadi pada semut,
aku tahu apa yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan
rencanaku”.
Dan
semut pun berlalu, sebab ia telah memberi ku teguran sebaik-baiknya dalam masalah
ini.
Beberapa
waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi.
Si
semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri dibawah meja tumpuan daging
dengan bijaksana, menunggu saja apa yang mungkin datang padanya.
Si
capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan hinggap diatas nya.
Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah capung itu menjadi
dua.
Separuh
tubuhnya jatuh dilantai dekat kaki semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan
mulai menyeretnya ke sarang, semut itu berkata pada dirinya sendiri.
“Rencananya
tamat sudah, dan rencana terus berjalan. Ia laksanakan rencananya sudah
berakhir, aku laksanakan rencanaku mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting, nyatanya
hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin di pikirkan nya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan
orang lain”.
Catatan :
Kisah
yang hampir serupa ditemukan juga dalam karya Attar, Kitab ketuhanan, meski
penerapannya agak berbeda. Versi ini dikisahkan oleh seorang darwis Bokhara
dekat makam Al Syah, yakni Bahaudin Naqsibandi, enam puluh tahun yang lalu.
Sumbernya adalah buku catatan seorang sufi yang disimpan dalam masjid agung di
Jalalabad.
Posting Komentar